Oleh : Ustadz Arifin Al Bantani
Diantara hiruk-pikuk zaman yang bergerak serba cepat, kalender keagamaan sering kali kehilangan daya jedanya. Bulan demi bulan berlalu sebagai angka administratif, bukan sebagai ruang perenungan. Dititik inilah Rajab menemukan relevansinya—sebagai bulan yang justru menuntut keheningan.
Rajab adalah satu dari empat bulan haram yang dimuliakan dalam tradisi Islam. Namun, keistimewaannya bukan terutama pada ritual yang spektakuler, melainkan pada makna etik dan spiritual yang dikandungnya. Sejak sebelum Islam, bulan-bulan haram dikenal sebagai masa penghentian konflik. Kekerasan ditangguhkan, senjata disarungkan, dan manusia diajak memberi ruang bagi akal sehat serta nurani. Pesan itu tetap aktual: peradaban membutuhkan jeda agar tidak hancur oleh dirinya sendiri.
Dalam konteks keberagamaan kontemporer, Rajab sering diposisikan sebagai “bulan pengantar” menuju Ramadhan. Tetapi pemaknaan ini kerap terjebak pada urutan waktu, bukan pada fungsi kesadaran. Padahal, Rajab justru penting karena ia tidak memaksa. Tidak ada kewajiban puasa, tidak ada euforia massal. Yang ada hanyalah tawaran: apakah manusia bersedia menata dirinya sebelum memasuki bulan disiplin spiritual?
Doa yang populer di bulan ini “Allahumma bฤrik lanฤ fฤซ Rajab wa Sya‘bฤn wa ballighnฤ Ramadhฤn” sering dipahami sebagai permohonan umur panjang. Namun, makna terdalamnya adalah permohonan kesiapan. Sampai pada Ramadhan bukan hanya soal masih hidup, melainkan soal apakah hati telah cukup lapang untuk menerima latihan kesabaran, keadilan, dan empati yang dituntut bulan suci itu.
Rajab dengan demikian adalah bulan evaluasi. Ia menuntut keberanian untuk menakar ulang kebiasaan: cara kita bekerja, berbicara, beragama, dan memperlakukan sesama. Dalam masyarakat yang mudah marah, Rajab mengingatkan nilai penahanan diri.
Dalam politik yang bising, ia mengajarkan penghormatan pada batas. Dalam keberagamaan yang gemar simbol, Rajab mengembalikan fokus pada substansi.
Keistimewaan Rajab tidak terletak pada klaim keutamaan yang berlebihan, tetapi pada kemampuannya menghadirkan ruang refleksi yang jarang disukai manusia modern: ruang sunyi. Dari kesunyian itulah lahir kesadaran bahwa perubahan besar selalu diawali oleh niat kecil yang jujur.
Jika Ramadhan adalah bulan pembentukan karakter secara intensif, maka Rajab adalah fase pra-kondisi moral. Ia mengajarkan bahwa kesucian tidak lahir dari lonjakan emosional, melainkan dari proses perlahan—menyadari kesalahan, mengurangi keburukan, dan menata ulang orientasi hidup.
Pada akhirnya, Rajab bukan sekadar bulan dalam kalender hijriah. Ia adalah pengingat bahwa iman tidak selalu berteriak, kadang ia berbisik. Dan hanya mereka yang bersedia berhenti sejenak yang mampu mendengarnya.
Jika cinta kepada Ilahi hanya sebatas pikiran dan makna, tak akan ada sholat dan puasa.
Marhaban ya Rajab. Semoga Allah SWT memberkahi langkah kita, melembutkan hati kita, dan menuntun kita menuju Ramadhan dengan jiwa yang bersih. (*/)
(*/) Ustadz Arifin Al Bantani
Penulis merupakan aktivis keagamaan di Kota Cilegon
#Opini
Komentar