Kondisi gunung yang sedang ditambang, foto: Warga
SERANG— Maraknya serbuan truk-truk tambang dari luar daerah yang masuk ke wilayah Kecamatan Bojonegara dan Puloampel, Kabupaten Serang dalam beberapa bulan terakhir, dikhawatirkan oleh warga setempat akan berdampak pada hilangnya keberadaan gugusan gunung yang ada di dua kecamatan tersebut.
Selain itu, sejauh ini masyarakat Bojonegara dan Puloampel juga mengeluhkan soal kondisi jalanan yang berdebu dan kemacetan lalu lintas di ruas jalan nasional di dua wilayah kecamatan tersebut. Bahkan pada Senin 17 November 2025 kemarin, ribuan massa tumpah ke jalan nasional Bojonegara-Cilegon memboikot masuknya armada angkutan tambang masuk.
Ribuan warga Bojonegara-Puloampel meluapkan kekesalan dengan turun ke jalan nasional Cilegon-Bojonegara menutup truk tambang masuk
Belum lagi persoalan yang lebih mendasar, warga mengkhawatirkan kerusakan lingkungan hidup, seperti potensi tanah longsor dan banjir yang makin sering terjadi dan dirasakan masyarakat di saat musim penghujan datang.
"Saya sangat menyayangkan banyaknya aktivitas penambangan yang ada di Kecamatan Bojonegara dan Puloampel Kabupaten Serang, Banten. Selain banyaknya debu di jalanan dikarenakan truk besar yang mengangkut hasil tambang, Itu juga berpotensi menghilangkan gunung, yang sebetulnya diciptakan sebagai paku bumi. Rusaknya gunung bisa mengakibatkan banjir, karena sistem penyerapan air sudah tidak memadai. Bahkan bisa juga menyebabkan gempa bumi, karena pergeseran lempeng yang mulai tidak beraturan setelah kehilangan paku buminya, karena bencana sebetulnya diciptakan oleh ulah manusia itu sendiri," ungkap warga Kampung Candi, Kecamatan Puloampel, Alfa Saputra kepada Warta Albantani. Selasa (18/11/2025).
Ia berharap kepada pihak Pemerintah Provinsi Banten dan Kabupaten Serang untuk melakukan kajian mendalam terkait banyaknya aktivitas tambang yang beroperasi di wilayahnya. Terlebih banyak perkampungan atau pemukiman penduduk yang tinggal di lereng gunung.
"Saya berharap kepada Pemprov Banten dan Pemkab Serang agar meninjau langsung untuk menghentikan tambang apabila ada yang tidak memiliki konsesi atau perijinan, dan membatasi luas area dan waktu operasional tambang yang sejauh ini sudah cukup besar membuat kerusakan, gunung jadi botak dan bisa hilang jika terus dikeruk atau ditambang. Saya sebagai pemuda Bojonegara-Puloampel mengajak masyarakat untuk terus menjaga dan mempertahankan gunung yang ada di wilayah kita, agar nanti anak/cucu kelak kita tahu bahwa di Bojonegara dan Puloampel ada gunung yang harus terus dijaga," harapnya.
"Jangan sampai terjadi apa yang terjadi dalam buku yang berjudul “Negeri Diujung Tanduk” karya Tere Leye. Setelah penambangan selesai dan rusaknya ekosistem, para borjuis/pemodal pergi mencari lokasi tambang baru. Sementara anak/cucu kita hanya bisa melihat kerusakan alam yang sudah terjadi," ungkapnya.
Alfa juga menyampaikan kekecewaannya terhadap kepala daerahnya yang dianggap kurang peduli terhadap aspirasi masyarakat Bojonegara dan Puloampel, saat menggelar aksi demonstrasi.
"Terakhir, saya berpesan kepada Pak Andra Soni dan Dimyati, serta Ibu Ratu Zakiyah. Mengapa kemarin saat kami mengadakan aksi malah mengirim Sekda? Mengapa tidak kalian saja yang langsung datang. SUARA KAMI BUKAN HANYA UNTUK DIHITUNG PAK, BU. SUARA KAMI JUGA PERLU UNTUK DIDENGAR," tegasnya.
Ungkapan yang sama diutarakan oleh aktivis dari Kecamatan Bojonegara, Hanafi yang dengan tegas mendesak kepada pemerintah dan aparat penegak hukum untuk tegas dan mendengarkan tuntutan dari masyarakat.
Ia menyebut adanya regulasi atau Undang-undang tentang lingkungan hidup UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Meski UU ini menjadi dasar hukum utama dan telah mengalami beberapa perubahan, termasuk dengan adanya UU Cipta Kerja (UU No. 11 Tahun 2020) dan peraturan turunannya yang mengatur teknis pelaksanaannya. Namun hal itu dianggap kontras dengan kondisi kerusakan gunung akibat terus beroperasinya pertambangan.
"Kami tidak menolak pembangunan infrastruktur dimana materialnya sebagian besar di dapat dari tambang. Tapi jangan serakah dong. Sudah setiap hari diangkut antar pulau pakai tongkang, ini diserbu truk-truk angkutan tambang masih dibiarkan saja. Bisa hilang gunung disini. Dampak kerusakan gunung banjir lebih parah. Lalu buat apa ada Undang-undang 32 kalau faktanya alam kami rusak. Mana pengelolaan dan perlindungannya?," ujarnya.
Hanafi juga mendesak kepada pihak-pihak terkait untuk berani bertindak tegas dalam mencegah kerusakan lingkungan hidup yang berdampak buruk kepada masyarakat luas.
"Yang jelas, untuk menjaga gunung- gunung di wilayah Bojonegara-Puloampel tidak makin rusak bisa jadi longsor dan banjir bahkan bisa hilang. Pemerintah dan aparat penegak hukum harus berani bertindak tegas. Tertibkan tambang yang ilegal. Dan pemberi ijin tolong bijaksana, batasi ijin tambang, baik skala luas dan waktunya, agar gunung kami tidak cepat hilang. Sebab setahu kami ilmu ekonomi modern para pemilik modal adalah kapitalisme yang tujuannya mencari keuntungan sebesar-besarnya. Kami lahir di sini, kami ingin anak cucu kami kelak masih melihat anugerah Allah berupa gunung. Di dalam Al-Qur'an jelas disebut fungsi gunung sebagai Paku bumi, ini harus dijaga bersama," tuturnya.
Diketahui, keberadaan Gunung-gunung di Kecamatan Puloampel dan Bojonegara Kabupaten Serang berupa gugusan gunung di wilayah Banten Utara yang terintegrasi ke beberapa wilayah kecamatan di Kota Cilegon seperti Kecamatan Pulomerak, Grogol dan Purwakarta. Selain paku bumi, keberadaan gunung ini juga bisa menjadi pelindung dari terjangan tsunami dari laut Selat Sunda di mana tercatat dalam sejarah, sudah beberapa kali terjadi. (*/red)
#LingkunganHidup
Komentar