Monumen Geger Cilegon 1888, Identitas Kota dan Akar Sejarah yang Tak Boleh Susut

Kategori Berita

Iklan Semua Halaman

Monumen Geger Cilegon 1888, Identitas Kota dan Akar Sejarah yang Tak Boleh Susut

Selasa, 18 November 2025
Monumen Geger Tjilegon 1888

Oleh: Rijal Arif Baihaki 


Monumen Geger Cilegon 1888 adalah titik temu antara ingatan kolektif masa lalu dan dinamika masyarakat masa kini. Ia berdiri sebagai penanda keberanian para petani, ulama, jawara, dan santri Banten yang pada tahun 1888 bangkit melawan penindasan kolonial Belanda. Namun, monumen ini bukan hanya simbol sejarah, ia kini menjadi ruang kontestasi makna, terutama setelah pembangunan fisik, peresmian, dan revitalisasi wajah barunya.

Peristiwa 1888: Akar Sejarah yang Tidak Boleh Menyusut

Geger Cilegon 1888 adalah ledakan perlawanan yang lahir dari ketidakadilan pajak, kekerasan aparat kolonial, dan kebijakan yang menekan kehidupan rakyat. Dipimpin tokoh-tokoh seperti *KH Wasid, Tubagus Ismail*, serta jaringan ulama dan jawara Banten, pemberontakan ini sering disebut salah satu bentuk perlawanan rakyat paling terorganisir pada masa kolonial.

Peristiwa ini bukan hanya sejarah lokal, ia adalah bagian dari perjalanan pembentukan kesadaran kebangsaan Indonesia.

Monumen yang berdiri hari ini menjadi perpanjangan dari sejarah itu. Penjaga memori kolektif yang terus mengingatkan bahwa keadilan adalah perjuangan panjang yang tak selesai.

Pembangunan Awal Monumen: Jalan Panjang Menuju Penanda Ingatan

Berdasarkan catatan, pembangunan Monumen Geger Cilegon dimulai pada *1997*. Pemerintah ketika itu ingin menghadirkan simbol fisik yang menegaskan kembali pentingnya peristiwa Geger Cilegon sebagai identitas masyarakat.

Namun perjalanan monumen ini tidak berlangsung singkat. Setelah dua dekade lebih, barulah pada *10 November 2019*, bertepatan dengan Hari Pahlawan, monumen tersebut *diresmikan*.

Lokasinya yang strategis, berada di dekat alun-alun, dipilih agar mudah diakses masyarakat, menjadi ruang refleksi publik sekaligus pusat peringatan tahunan.

Motif pembangunan monumen ini sederhana tetapi mendalam, agar rakyat Banten tidak lupa bahwa keberanian itu pernah lahir dari tanah mereka.

Wajah Baru Monumen: Estetika yang Mengundang Pertanyaan

Dalam beberapa tahun terakhir, Monumen Geger Cilegon mengalami *revitalisasi*. Pemerintah Kota Cilegon mempercantik kawasan tersebut dengan taman baru, jalur pedestrian, pencahayaan, dan elemen estetik lain.

Narasinya: agar monumen tampil lebih indah, lebih “instagramable”, dan lebih menjadi ruang publik modern.

Revitalisasi ini memang membawa wajah yang lebih segar. Dalam sejumlah unggahan dan pemberitaan, pemkot menekankan bahwa monumen kini akan menjadi *laboratorium sejarah terbuka*, tempat generasi muda belajar tentang perjuangan lokal.

Namun penghiasan wajah baru ini juga menimbulkan sejumlah kritik dan potensi ketidaksesuaian, dimana simbolisme itu menuntut interpretasi yang tepat. Tanpa penjelasan sejarah yang memadai, ia mudah berubah menjadi hiasan tanpa makna.

Analisis Kritis: Risiko Komersialisasi Identitas dan Penyusutan Narasi Sejarah

Transformasi monumen menjadi ruang estetik membuka kemungkinan bahwa fungsi utama monumen sebagai pengingat perjuangan dan tragedi, tergeser menjadi sekadar spot foto. Semangat perlawanan rakyat dapat terkaburkan oleh estetika dekoratif yang lebih menonjol daripada substansi historis.

Dalam beberapa publikasi resmi, narasi “perjuangan rakyat” sering disederhanakan. Unsur konflik sosial-ekonomi, peran ulama, penderitaan petani, hingga radikalisme perlawanan tidak selalu dihadirkan secara utuh. Ada risiko monumen kehilangan kekuatan naratif jika wajah baru tidak disertai upaya edukasi mendalam.

Degenerasi Memori Kolektif dan Komunikasi Publik yang Lemah

Minimnya dokumentasi resmi tentang peresmian wajah baru, kurangnya papan interpretasi sejarah, dan absennya narasi edukatif yang terpampang jelas membuat revitalisasi ini berpotensi menjadi upaya estetisasi semata. Masyarakat bisa kehilangan arah! Lalu, apa sebenarnya makna monumen setelah “dipoles” ini?

Tanpa edukasi, generasi muda mungkin mengunjungi monumen hanya untuk foto, bukan untuk memahami nilai sejarahnya. Ini dapat menyebabkan memudarnya ingatan kolektif terhadap peristiwa Geger Cilegon 1888.

Ruang Edukasi, atau Sekadar Ruang Estetik?

Monumen revitalisasi ini seharusnya membangun kesadaran sejarah, bukan hanya menghadirkan visual baru. Untuk hidup sebagai “laboratorium sejarah”, ia membutuhkan:

• papan informasi yang menjelaskan peristiwa 1888,
• narasi tentang tokoh-tokoh pemberontakan,
• penjelasan arsitektur dan simbolisme,
• kegiatan rutin seperti haul, diskusi sejarah, dan tur edukasi.

Jika semua itu tidak disertakan, maka wajah baru monumen hanyalah kosmetika arsitektur.

Antara Mempercantik dan Memperdalam Makna

Monumen Geger Cilegon 1888 adalah ruang di mana sejarah, identitas, dan masa depan bertemu. Revitalisasi dan peresmian wajah barunya adalah langkah baik, tetapi ia harus disertai dengan pemaknaan ulang yang jujur dan substansial. Monumen bukan sekadar objek dekoratif. Ia adalah penjaga ingatan kolektif.

Peradaban selalu diukur dari bagaimana ia merawat sejarahnya, dan merawat sejarah tidak hanya mempercantik monumen, tetapi memastikan bahwa pesan perjuangannya *tetap hidup* di dalam kesadaran publik, bukan hanya dalam bentuk visual, tetapi dalam nilai dan tindakan.(*/red)

Cilegon, 17 November 2025

Oleh Rijal Arif Baihaki 
Penulis adalah aktivis Kebudayaan di Kota Cilegon

#Opini
close