Oleh : Ali Fahmi
CILEGON adalah kota kecil yang dihuni penduduk asli yang mayoritasnya adalah serumpun keluarga. Proses terbentuknya keluarga besar ini harus melewati kepedihan dan penderitaan yang sangat luar biasa. Betapa dahsyatnya bencana letusan Gunung Krakatau yang berefek terjadinya bencana tsunami, gelombang besar air laut yang melibas apa saja yang ada di daratan kota Cilegon. Menyebabkan korban jiwa yang tidak sedikit, belum lagi wabah dan kekurangan air bersih dan makanan pasca terjadinya bencana tsunami, hasil panen gagal, ternak lenyap ditelan air pasang.
Bisa kita bayangkan betapa saat itu belum ada sarana informasi dan transportasi, sehingga daerah lain mengetahui bencana letusan bisa diketahui beberapa bulan setelahnya. Bahkan negara-negara lain baru mengetahui informasi tersebut beberapa tahun setelahnya, warga daerah lain hanya merasakan langit saat itu gelap dan berdebu hitam pekat, tercatat dalam pemberitaan koran di Amerika konon debu dan pasir krakatau menghinggapi langit di Amerika, namun tidak menyadari bahwa itu debu yang diakibatkan oleh letusan Gunung Krakatau. Dipastikan saat kejadian tersebut belum ada fasilitas kesehatan dan obat-obatan, belum ada lembaga bantuan kemanusiaan.
Hal-hal tersebut diatas makin memperburuk situasi, sehingga sangat dimungkinkan korban jiwa pasca letusan Krakatau jauh lebih besar dibanding pada saat bencana terjadinya bencana, bukan hanya korban jiwa namun dipastikan kondisi psycis pun menjadi ancaman bagi yang selamat dari bencana namun belum tentu selamat dari gangguan psycis. Belum lagi banyaknya korban yang tidak terkubur secara layak menyebabkan wabah penyakit, dan sebagainya.
Hanya sedikit yang bisa selamat, dari sisa sisa- yang selamat banyak pula yang meninggalkan mencari lingkungan yang lebih baik, kami meyakini bahwa dari sisa sisa yang bertahan inilah yang akan menjadi cikal bakal nenek moyang kita masyarakat Cilegon.
Perlahan membangun keluarga dan berkembang menjadi masyarakat baru beranak pinak dari sisa-sisa yang ada. Perkampungan perlahan dibangun secara alami dan melebar memenuhi ruang ruang yang masih kosong. Pertalian dan tautan antar keluarga menjadi semakin dekat dengan pernikahan satu sama lain antar keluarga.
Maka sangat wajar jika Akur Sedulur Jujur Adil Makmur menjadi simbol dan lambang Kota Cilegon, walau disayangkan sekali pemerintah daerah belum mengaplikasi manifestasi dan implementasi dalam program kebijakan yang mencerminkan sebuah kota yang masih satu rumpun keluarga, sebagai masyarakat agraris di tanah abu volcano yang subur makmur.
*Mangan ore Mangan Kumpul*. Bukan momok tapi adagium inilah tanpa terasa telah menuntun masyarakat Kota Cilegon berkembang menjadi Kota clCilegon yang Akur Sedulur Jujur Adil dan Makmur. (*)
(*/ Ali Fahmi)
Penulis adalah aktifis Pengamat Sosial Politik Cilegon
#Opini